Sebelum saya mereview film ini, saya jadi teringat satu hal, kapan terakhir kali saya berniat datang ke bioskop khusus untuk menonton film Indonesia ? Jawabannya agak sulit diingat, tapi yg pasti saya ingat apa film lokal terakhir yg saya saksikan di layar lebar, Janji Joni. Damn ! Berarti sudah sangat lama sekali saya tidak menyaksikan karya sineas negeri sendiri di bioskop ! Bahkan film sekaliber Berbagi Suami, yg mengundang banyak review bagus tidak sempat saya tengok di layar lebar. Film-film Indonesia yg setahun ini beredar lebih banyak saya saksikan lewat VCD yg saya sewa dari Video Ezy, itu juga film-film yg menurut review layak untuk ditonton.
Sampai akhirnya ada satu film lokal yg sangat menggugah batin saya untuk menyaksikan-nya di layar lebar. Sekuel dari fim populer di era 80-an, Nagabonar, yg sempat menyabet piala Citra pada Festival Film Indonesia 1987. Saya sendiri ketika Nagabonar melejit di jaman itu baru berusia 2 tahun, bahkan ketika sekuel ini muncul, pengetahuan saya mengenai Nagabonar sangat minim, saya hanya tahu sekilas saja. Lalu mengapa saya sampai sangat tertarik untuk menonton film ini ? Pertama, tentu saja review dari orang-orang yg sudah menonton, mereka mengatakan NB2 (Nagabonar 2) masuk dalam kategori ”istimewa” dibandingkan film-film lokal lainnya. Kedua, karena NB2 mempunyai sesuatu yg berbobot. Maksud berbobot disini adalah selalu ada makna tertentu dibalik dialog-dialog yg dilontarkan oleh para karakter juga adegan-adegan dalam film ini. Baik itu sentilan dan sindiran terhadap pemerintah dan masyarakat bangsa ini, kritik sosial, permasalahan religi maupun usaha Deddy kepada para generasi muda untuk kembali menumbuhkan semangat nasionalisme yg semakin lama sudah tampak semakin pudar.
Akting dari Deddy Mizwar sebagai Nagabonar sungguh luar biasa, baru kali ini saya melihat seorang aktor dalam dunia perfilman Indonesia bermain sungguh maksimal dalam menghayati peran-nya. Selain Deddy, menurut saya aktor yg bermain bagus disini adalah Mike Muliadro, yg berperan sebagai Jaki. Sebagai aktor pendatang baru, dia mampu membuat karakter-nya lebih hidup dibandingkan karakter ketiga rekan-nya yg lain, termasuk anak si Nagabonar itu sendiri Bonaga (Tora Sudiro), dan dua rekan bisnis-nya, Pomo (Darius Sinatrya), dan Ronnie (Ulli Herdinandsyah). Jaki mampu menghadirkan sosok anak muda ”lurus” jaman sekarang yg melaksanakan kewajibannya yg diperintahkan agama-nya (sholat) tetapi setelah itu tetap berdugem bersama teman-teman-nya. Selain karakter diatas, karakter lain yg menonjol di film ini adalah seorang supir bajaj bernama Umar yg diperankan Lukman Sardi dan teman wanita Bonaga, Monita yg diperankan oleh Wulan Guritno.
Ada satu adegan yg membuat saya tertawa getir, ketika seorang Bonaga, yg disini diceritakan sebagai sosok yg ganteng, keren, gaul, tajir dan trendy mempunyai satu masalah klasik yg juga menjadi masalah umum kebanyakan kaum laki-laki (termasuk saya), ketika bagaimana dia sudah sebegitu dekat-nya dengan seorang wanita (Monita) tetapi sangat sulit untuk mengungkapkan perasaan hati-nya padahal terlihat jelas Bonaga sangat ”naksir” Monita, dan tentu saja Monita walaupun dia juga menaruh hati terhadap Bonaga tetap tidak bisa mengutarakan perasaan-nya kepada Bonaga karena kodrat-nya sebagai wanita (walaupun banyak wanita pada jaman sekarang ini nekad untuk mengutarakan perasaan-nya duluan sebelum laki-laki itu me”nembak”-nya), apalagi sosok Monita disini adalah seorang wanita karir yg sangat sibuk dengan pekerjaan-nya, mandiri dan seperti tidak membutuhkan sosok seorang lelaki. Dan satu percakapan lagi yg membuat saya (lagi-lagi) tersenyum getir adalah ketika Nagabonar menanggapi curhat Bonaga terhadapnya. Kurang lebih dialog-nya seperti ini :
Bonaga : ”Monita itu wanita mandiri, sibuk dengan pekerjaan-nya, mana ada dia waktu untuk memikirkan cinta dan laki-laki seperti aku”.
Nagabonar : ”Wanita tetaplah wanita, mau seperti apa juga, tetaplah dia membutuhkan hal seperti itu, cepatlah sana kau kejar dia”.
Overall, Nagabonar Jadi 2 adalah film terbaik menurut saya yg pernah dihadirkan di layar lebar Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini, kekurangan dari film ini hanyalah satu, ketika saya kira film ini sudah mencapai ending-nya, ternyata belum selesai dan masih berlanjut, sehingga menyebabkan ending yg kurang pas. Mungkin ini hanya satu kritik dibandingkan banyaknya pujian sepanjang film ini diputar. Film ini menurut saya adalah potret nyata keadaan bangsa kita ini, baik dari karakter orang-orangnya maupun keadaan negara ini sendiri, baik dari kalangan atas sampai kalangan bawah dirangkum jadi satu disini.
Bung Deddy, well done ! Saya tunggu karya-karya anda yg lain.
Dan bagi semua yg belum nonton film ini, ga usah pikir-pikir lagi, langsung ke bioskop, beli tiket film ini, selain tertawa terbahak-bahak, siap-siaplah untuk menjadi saksi salah satu film Indonesia yg sangat berkualitas.